Sabtu, 25 Januari 2014

POLITIK UANG

Maraknya politik uang
Pengaruh uang yang begitu kental terjadi d pemilu kada. Ada benarnya pendapat seorang ilmuan terkenal Maurice Duverge yakni “Money Buying Democracy”.  Meminjam bahasa Herry Priyono[15] 'banyaknya uang = banyaknya suara'. Dengan segera kita akan langsung mengenali bahwa prinsip demokrasi 'satu-pemilih=satu-suara' menjadi kosong dari substansi. Dan fakta bahwa tiap orang/kelompok yang ingin meraih kursi administratif-kenegaraan biasanya menggunakan kekuatan uang menunjukkan bahwa uang merupakan pilar kekuasaan. Sehingga muncul istilah yang begitu mengelitik telinga, yakni Dengan luasnya daya penentuan kuasa uang dalam pemilu kita, yang akan kita hasilkan bukan democracy (pemerintahan rakyat), melainkan chremocracy (pemerintahan para penyuap). Lingkaran setan kuasa uang dalam Pemilu kada ini akan berlangsung terus menerus selama tidak di benahi penegakan hukum aturan Pemilu. Fakta di lapangan telah membuktikan bahwa terjadi kuncuran dana besar-besaran dalam mempersiapkan atau merebut kemenangan di PILKADA Gubernur.
Mecara garis besar, ada tujuh[16] bentuk bekerjanya politik uang dalam PILKADA. Petama, penyaluran dana yang di lakukan dengan sengaja melawan hokum dalam rangka “bujukan politik” terhadap orang, kelompok, atau organisasi utnuk mencapai kemenangan politik. Kedua, pemberian uang bertujuan untuk mempengaruhi proses-proses dalam pemilihan kepala daerah. Ketiga, membagi-bagikan uang secara langsung. Keempat, melalui instruksi semisal pemasangan bendera yang di sertai dengan tindakan memberi uang. Prakte ini biasanya adalah para kandidat memberi uang kepada masyarakat yang bersedia memasang bendera di sepan rumahnya.
 kelima, melalui  pembagian barang dan sembako praktek ini biasanya di bungkus sebagai kegiatan sosial atau kegiatan amal. Namun biasanya dalam paket sembako selalu ada barang yang berpotensi mengarahkan suara masyarakat agar memilih partai tersebut misalnya kaos atau striker calon. keenam, memberi uang kepada massa kampanye. Pemberian uang secara langsung pada massa ketika kampanye adalah praktek politik uang yang paling sering di lakukan. Biasanya, pasangan calon memberikan uang tersebut dengan legtimasi uang bensin, uang konsumsi, uang lelah, uang rokok, uang transportasi dan sebagainya.
Ketujuh, janji-jani di beri sesuatu. Pasangan calon memberikan janji akan memberikan bantuan yang kreatif dengan kebutuhan warga masyarakat di suatu wilayah atau suatu kelompok asalkan diwilayah tersebut pasangan calon yang bersangkutan menajdi pemenang dan terpilih menjadi kepala daerah.
Mengurangi Praktek Politik Uang Dalam PILKADA
Jika pemilihan Gubernur oleh Presiden masih sulit di lakukan, maka hal yang mesti di lakukan pertama adalah mengurangi praktek Politik Uang Dalam PILKADA. Komitmen dari para kandidat memang perlu di lakukan, namun tidak cukup hanya sampai di situ, berikut ada 3 langkah yang dapat di lakukan menurut Amzulian Rifai[17]. Pertama, perlu ada disiplin Partai Politik yang keras tanpa Diskriminasi. Agar tidak melakukan penjualan suara ke berbagai tempat pada saat PILKADA. Kedua, di keluarkannya ijin umum untuk memeriksa anggota dewan. Ketiga, penegakan Hukum yang Tidak Diskriminatif.
Hal pendukung lainnya adalah perlu ada aturan tambahan yang jelas tentang batasan jumlah dana kampanye yang boleh di pakai oleh kandidat. Bahkan penggunaan iklan kampanye di media massa atau elektronik pun perlu ada regulasi untuk membatasi hal itu. Biaya mahal PILKADA pada umumnya di atribut kampanye. Baliho, poster atau Kaos perlu di batasi jumlahnya. Upaya-upaya ini hanya dapat di lakukan dengan optimalisasi aturan yang tegas serta pengawasan yang terus-menerus dari penyelengara Pemilu kada sehingga praktek memhanbur-hamburkan uang di PILKADA Gubernur dapat di pangkas.
Agenda kedepannya
-          Solusi pemilihan Gubernur. Kembalikan ke tangan Presiden
Gubernur sebagai perpanjangtangan dari Presiden memiliki funsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagaimana di atur dalam UU no. 32 tahun 2004 pasal 37 ayat 1 dan 2 yakni (1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.

Dalam pasal 38 juga di jelaskan bahwa gubernur adalah coordinator pemerintah pusat terhadap pemerintah kota atau kabupaten. Bahkan telah masuk dalam beban APBN,berikut uraiannya  (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 memiliki tugas dan wewenang: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/Kota; b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c. koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN.
Hal di atas telah jelas bahwa fungsi gubernur sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat maka Gubernur wajib mempertangungjawabkan kinerjanya kepada presiden. Hal ini jelas menunjukan bahwa yang semestinya memilih gubernur adalah presiden, bukan rakyat.

               Argument ini di perkuat oleh pendapat salah satu anggota KPU Provinsi DIY Sapardiyono.S.Hut.MH. pemilihan gubernur sebaiknya kembali pada masa era orde baru yakni dilakukam oleh presiden dengan beberapa alas an sebagai berikut :  pertama : biaya pemilihan Gubernur sangat mahal, biaya ini tidak hanya dihitung seberapa besar Pemda mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan Pemilu Gubernur tapi juga termasuk biaya para pasangan calon dalam mengorganisir diri untuk memenangkan Pemilu.Biaya besar yang dikeluarkan para pasangan calon ini dikawatirkan berpotensi negatif pada saat memimpin nanti, yaitu cenderung berusaha mengembalikan “modal biaya kampanye” apabila pasangan tersebut menang dalam pemilu Gubernur.

               Kedua, argumen bahwa selain sebagai kepala daerah, Gubernur juga merupakan wakil dari pemerintah pusat di daerah dan argumen yang ketiga adalah, posisi otonomi yang diletakkan di kabupaten/kota bukan di provinsi. Akibatnya gubernur mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. “Kalau kewenangan Gubernur sangat terbatas, mengapa harus dipilih dengan biaya yang sangat mahal?”, demikian beberapa argumen yang sering disampaikan. Dari sekian banyak argument tersebut argumen pertama yaitu biaya yang mahal lah yang paling dominan disampaikan ke publik.
Ada beberapa kelemahan jika pemilihan Gubernur di kembalikan ke tangan DPRD. Hal ini di ungkapkan oleh  anggota KPU Provinsi DIY Sapardiyono.S.Hut.MH. . yakni Selain dinilai setback, pemilihan gubernur oleh DPRD dinilai mengandung berbagai kelemahan yang mendasar sebagai berikut, pertama : Indonesia segara akan menerapkan dualisme dalam sistem pemerintahan, yaitu menerapkan sistem presidensiil yang dibuktikan dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat untuk presiden, bupati dan walikota, sekaligus menerapkan sistem parlementer dalam memilih gubernur. Inkonsistensi ini tentu akan berakibat buruk terhadap rusaknya tatanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bupati dan walikota yang dipilih secara langsung oleh rakyat misalnya akan merasa lebih kuat dari
gubernur yang tidak dipilih secara langsung, padahal bupati dan wailkota tetap saja mempunyai hubungan yang bersifat hierarkis dengan gubernur.

Kelemahan yang kedua, adalah akibat dari penerapan dari sistem parlementer tersebut maka posisi gubernur dan DPRD provinsi bukanlah dua lembaga yang equal sehingga sulit diharapkan adanya ceks and balances. Gubernur dalam menyusun kebijakan, program dan anggaran misalnya akan lebih tunduk pada kemauan dari para anggota DPRD dari pada kehendak atau masukan dari masyarakat langsung. Dengan kata lain gubernur akan lebih meletakkan akuntabilitasnya pada anggota dewan ketimbang pada rakyat.

Sedangkan kelemahan yang ketiga adalah hilangnya peluang dari calon perseorangan untuk berpartisipasi dalam pemilihan gubernur. Padahal Putusan MK telah mengabulkan permohonan calon perseorangan dalam Pemilukada yang selanjutnya juga telah diakomodir dalam UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004. Dan andaikan DPRD juga tetap akan membuka untuk calon perseorangan, maka hampir pasti tidak mungkin bisa terpilih karena semua anggota DPRD adalah adalah anggota Partai poilitik yang juga harus tunduk pada kebijakan partai. Ini belum bicara soal teknis, calon perseorangan tersebut harus didukung seberapa persen rakyat sebagai syarat. Intinya pintu bagi calon perseorangan sudah pasti hampir tetutup sekalipun dijamin haknya oleh UUD 1945 Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Referensi
·         Gregorius Sahda, Muhtar Haboddin. 2009. Evaluasi Kritis Penyelenggaraan PILKADA di Indonesia. Yogyakarta : The Indonesian Power For Democracy (IPD)
·         Artikel oleh Jesus S. Anam  dengan judul Biaya politik semakin melonjak, apanya yang salah?” dalam www.militanindonesia.org di akses pada tanggal 27 April 2013
·         Ramlan Surbakti.1992. memahami ilmu politik.jakarta: PT Gransindo.
·         http://www.analisadaily.com
·         http://sindikasi.inilah.com
·         http://www.unisosdem.org
·         http://www.infogue.com
·         http://regional.kompas.com
·         http://www.tempo.co
·         http://www.antaranews.com
·         http://news.detik.com


[1] http://www.seputar-indonesia.com./14 desember 2010.Mahalnya Ongkos Politik Pilkada Langsung.
[2] www.kemendagri.go.id , www.bisnis.com, www.solopos.com, www.suaramerdeka.com
[3] Penulis kutip Dalam buku “evaluasi kritis penyelenggaraan PILKADA di Indonesia” oleh IPD (the Indonesian Power for Democracy.e editor Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin).2009.hlm 127.
[4] Penulis dapat dari dokumen KPUD berdasarkan laporan tim kampanye fauji bowo, laporan penerimaan dan penggunaan dana kampanye periode tanggal  17 mei s/d 8 juli 2013.  (3 hari setelah pasangan calon di tetapkan sebagai peserta pemilu sampai dengan 1 hari setelah kampanye berakhir)
[5] Sumbangan kader itu meliputi seluruh kader PKS (yg merupakan Parpol dari Hidayat nur Wahid)  yang duduk di legislative seperti DPR, DPRD provinsi dan kota wajib memberikan uang sumbangan mulai 2500.000. bahkan dalam laporan sumbangan dana kampanyenya ke KPUD  sumbangan perseorangan dapat mencapai 50 jt lebih/orang. Total dana sumbangan perseorangan mencapai 18 M. sedangkan dana pribadi pasangan calon hanya 1,1 M.
[6] www.metrotvnews.com/ 03 Maret 2013
[7] Dari total penerimaan dana 20,2 M, Gatot dan Tengku Erry Nuradi pos pengeluaran, pertemuan terbatas menghabiskan dana Rp 20,jutaan, pertemuan tatap muka dan dialog Rp 4,1 jutaan, penyebaran mesia massa cetak dan media massa elektronik sebesar Rp 1 Miliaran, penyebaran bahan kampanye kepada umum sebesar Rp 13,6 Miliar, pemasangan alat peraga di tempat umum Rp 9-an juta, rapat umum Rp 1,3 miliar, debat pasangan calon Rp 10-an juta dan kegiatan lain yang tidak melanggar kampanye dan perundang-undangan sebesar Rp 3,5 Miliar lebih.Pasangan Gatot juga melakukan  pembelian peralatan sebesar Rp 78 juta-an, lain-lain Rp 170 juta-an ditambah pengeluaran lain-lain sebesar Rp 201 juta-an.
[8] Pasangan kedua yang memiliki dana kampanye terbesar yakni, pasangan Gus Irawan Pasaribu-Soekirman dengan total penerimaan sebesar Rp 18.025.104.004 dan pengeluaran dengan total Rp 17.913.950.841 yakni pengeluaran terbesar  pada item percetakan dan pengadaan atribut kampanye yang mencapai Rp3,737 miliar lebih dan meyisakan saldo sebesar Rp 111.153.163.
[9] Pasangan ketiga yang memiliki total dana pemerimaan kampanye takni pasangan Amri Tambunan dan RE Nainggolan sebesar Rp 5.232.000.000 dengan total pengeluaran sebesar Rp 5.230.763.000 dengan saldo akhir Rp 1.237.000.
[10] Pasangan ke empat yakni Effendi Nainggolan dan Jumiran Abdi memiliki dana kampanye sebesar Rp 4.996.500.000 dengan total pengeluaran Rp 4.996.431.980 dengan sisa saldo Rp 68.020.
[11] Kompas.com/6 oktober 2012
[12]  Yang di tayangkan pada RABU, 20 Juni 2012, pukul 21.30 dengan judul “MEMBELI DEMOKRASI”.
[13] Menurut Rahardjo, salah satu pengurus partai politik pengusung pasangan bakal calon gubernur Jateng, kompas Rabu, 6 Maret 2013
[15] http://www.unisosdem.org/ Dari 'Money Politics' ke 'Chremocracy'


[16] Ibid,hlm 122
[17] Belian menulis dalam buku “Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daeran” yang penulis kutip dari buku  ;” evaluasi kritis penyelenggaraan PILKADA di Indonesia” oleh Gregorius sahdan, Muhtar Haboddin.IPD.2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar