Maraknya politik uang
Pengaruh uang yang begitu
kental terjadi d pemilu kada. Ada benarnya pendapat seorang ilmuan terkenal
Maurice Duverge yakni “Money Buying
Democracy”. Meminjam bahasa Herry Priyono[15] 'banyaknya uang =
banyaknya suara'. Dengan segera kita akan langsung mengenali bahwa prinsip
demokrasi 'satu-pemilih=satu-suara' menjadi kosong dari substansi. Dan fakta bahwa tiap orang/kelompok yang ingin meraih kursi
administratif-kenegaraan biasanya menggunakan kekuatan uang menunjukkan bahwa
uang merupakan pilar kekuasaan. Sehingga muncul istilah yang begitu mengelitik
telinga, yakni Dengan luasnya daya penentuan kuasa uang dalam pemilu kita, yang
akan kita hasilkan bukan democracy
(pemerintahan rakyat), melainkan chremocracy (pemerintahan para penyuap).
Lingkaran setan kuasa uang dalam Pemilu kada ini akan berlangsung terus menerus
selama tidak di benahi penegakan hukum aturan Pemilu. Fakta di lapangan telah
membuktikan bahwa terjadi kuncuran dana besar-besaran dalam mempersiapkan atau
merebut kemenangan di PILKADA Gubernur.
Mecara garis
besar, ada tujuh[16]
bentuk bekerjanya politik uang dalam PILKADA. Petama, penyaluran dana yang di lakukan dengan sengaja melawan
hokum dalam rangka “bujukan politik” terhadap orang, kelompok, atau organisasi
utnuk mencapai kemenangan politik. Kedua,
pemberian uang bertujuan untuk mempengaruhi proses-proses dalam pemilihan kepala
daerah. Ketiga, membagi-bagikan uang
secara langsung. Keempat, melalui
instruksi semisal pemasangan bendera yang di sertai dengan tindakan memberi
uang. Prakte ini biasanya adalah para kandidat memberi uang kepada masyarakat
yang bersedia memasang bendera di sepan rumahnya.
kelima,
melalui pembagian barang dan sembako
praktek ini biasanya di bungkus sebagai kegiatan sosial atau kegiatan amal.
Namun biasanya dalam paket sembako selalu ada barang yang berpotensi
mengarahkan suara masyarakat agar memilih partai tersebut misalnya kaos atau
striker calon. keenam, memberi uang
kepada massa kampanye. Pemberian uang secara langsung pada massa ketika
kampanye adalah praktek politik uang yang paling sering di lakukan. Biasanya,
pasangan calon memberikan uang tersebut dengan legtimasi uang bensin, uang
konsumsi, uang lelah, uang rokok, uang transportasi dan sebagainya.
Ketujuh, janji-jani di beri sesuatu.
Pasangan calon memberikan janji akan memberikan bantuan yang kreatif dengan
kebutuhan warga masyarakat di suatu wilayah atau suatu kelompok asalkan
diwilayah tersebut pasangan calon yang bersangkutan menajdi pemenang dan
terpilih menjadi kepala daerah.
Mengurangi Praktek Politik Uang Dalam PILKADA
Jika
pemilihan Gubernur oleh Presiden masih sulit di lakukan, maka hal yang mesti di
lakukan pertama adalah mengurangi praktek Politik Uang Dalam PILKADA. Komitmen
dari para kandidat memang perlu di lakukan, namun tidak cukup hanya sampai di
situ, berikut ada 3 langkah yang dapat di lakukan menurut Amzulian Rifai[17].
Pertama, perlu ada disiplin Partai
Politik yang keras tanpa Diskriminasi. Agar tidak melakukan penjualan suara ke
berbagai tempat pada saat PILKADA. Kedua,
di keluarkannya ijin umum untuk memeriksa anggota dewan. Ketiga, penegakan Hukum yang Tidak
Diskriminatif.
Hal
pendukung lainnya adalah perlu ada aturan tambahan yang jelas tentang batasan
jumlah dana kampanye yang boleh di pakai oleh kandidat. Bahkan penggunaan iklan
kampanye di media massa atau elektronik pun perlu ada regulasi untuk membatasi
hal itu. Biaya mahal PILKADA pada umumnya di atribut kampanye. Baliho, poster
atau Kaos perlu di batasi jumlahnya. Upaya-upaya ini hanya dapat di lakukan
dengan optimalisasi aturan yang tegas serta pengawasan yang terus-menerus dari
penyelengara Pemilu kada sehingga praktek memhanbur-hamburkan uang di PILKADA
Gubernur dapat di pangkas.
Agenda kedepannya
-
Solusi
pemilihan Gubernur. Kembalikan ke tangan Presiden
Gubernur sebagai perpanjangtangan
dari Presiden memiliki funsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.
Sebagaimana di atur dalam UU no. 32 tahun 2004 pasal 37 ayat 1 dan 2 yakni (1) Gubernur yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang
bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam pasal 38 juga di jelaskan bahwa gubernur adalah coordinator
pemerintah pusat terhadap pemerintah kota atau kabupaten. Bahkan telah masuk
dalam beban APBN,berikut uraiannya (1) Gubernur dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
memiliki tugas dan wewenang: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/Kota; b. koordinasi penyelenggaraan urusan
Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; c. koordinasi pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan
kabupaten/kota. (2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibebankan kepada APBN.
Hal di atas telah jelas bahwa fungsi gubernur
sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat maka Gubernur wajib
mempertangungjawabkan kinerjanya kepada presiden. Hal ini jelas menunjukan
bahwa yang semestinya memilih gubernur adalah presiden, bukan rakyat.
Argument ini di perkuat oleh
pendapat salah satu anggota KPU Provinsi DIY
Sapardiyono.S.Hut.MH. pemilihan
gubernur sebaiknya kembali pada masa era orde baru yakni dilakukam oleh
presiden dengan beberapa alas an sebagai berikut : pertama
: biaya pemilihan Gubernur sangat mahal, biaya ini tidak
hanya dihitung seberapa besar Pemda mengeluarkan uang untuk menyelenggarakan
Pemilu Gubernur tapi juga termasuk biaya para pasangan calon dalam
mengorganisir diri untuk memenangkan Pemilu.Biaya besar yang dikeluarkan para
pasangan calon ini dikawatirkan berpotensi negatif pada saat memimpin nanti,
yaitu cenderung berusaha mengembalikan “modal biaya kampanye” apabila pasangan
tersebut menang dalam pemilu Gubernur.
Kedua,
argumen bahwa selain sebagai kepala daerah, Gubernur juga merupakan wakil
dari pemerintah pusat di daerah dan argumen yang ketiga adalah, posisi
otonomi yang diletakkan di kabupaten/kota bukan di provinsi. Akibatnya gubernur
mempunyai kewenangan yang sangat terbatas. “Kalau kewenangan Gubernur sangat
terbatas, mengapa harus dipilih dengan biaya yang sangat mahal?”, demikian
beberapa argumen yang sering disampaikan. Dari sekian banyak argument tersebut
argumen pertama yaitu biaya yang mahal lah yang paling dominan disampaikan ke publik.
Ada
beberapa kelemahan jika pemilihan Gubernur di kembalikan ke tangan DPRD. Hal
ini di ungkapkan oleh anggota KPU
Provinsi DIY Sapardiyono.S.Hut.MH. . yakni Selain
dinilai setback, pemilihan gubernur oleh DPRD dinilai mengandung
berbagai kelemahan yang mendasar sebagai berikut, pertama : Indonesia
segara akan menerapkan dualisme dalam sistem pemerintahan, yaitu menerapkan
sistem presidensiil yang dibuktikan dengan adanya pemilihan langsung oleh
rakyat untuk presiden, bupati dan walikota, sekaligus menerapkan sistem
parlementer dalam memilih gubernur. Inkonsistensi ini tentu akan berakibat
buruk terhadap rusaknya tatanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Bupati dan
walikota yang dipilih secara langsung oleh rakyat misalnya akan merasa lebih
kuat dari
gubernur yang tidak dipilih secara langsung, padahal bupati
dan wailkota tetap saja mempunyai hubungan yang bersifat hierarkis dengan
gubernur.
Kelemahan yang kedua, adalah
akibat dari penerapan dari sistem parlementer tersebut maka posisi gubernur dan
DPRD provinsi bukanlah dua lembaga yang equal sehingga sulit diharapkan
adanya ceks and balances. Gubernur dalam menyusun kebijakan, program dan
anggaran misalnya akan lebih tunduk pada kemauan dari para anggota DPRD dari
pada kehendak atau masukan dari masyarakat langsung. Dengan kata lain gubernur
akan lebih meletakkan akuntabilitasnya pada anggota dewan ketimbang pada
rakyat.
Sedangkan kelemahan yang ketiga adalah
hilangnya peluang dari calon perseorangan untuk berpartisipasi dalam pemilihan
gubernur. Padahal Putusan MK telah mengabulkan permohonan calon perseorangan
dalam Pemilukada yang selanjutnya juga telah diakomodir dalam UU No 12/2008
tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004. Dan andaikan DPRD juga tetap akan
membuka untuk calon perseorangan, maka hampir pasti tidak mungkin bisa terpilih
karena semua anggota DPRD adalah adalah anggota Partai poilitik yang juga harus
tunduk pada kebijakan partai. Ini belum bicara soal teknis, calon perseorangan
tersebut harus didukung seberapa persen rakyat sebagai syarat. Intinya pintu
bagi calon perseorangan sudah pasti hampir tetutup sekalipun dijamin haknya
oleh UUD 1945 Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Referensi
·
Gregorius
Sahda, Muhtar Haboddin. 2009. Evaluasi
Kritis Penyelenggaraan PILKADA di Indonesia. Yogyakarta : The Indonesian
Power For Democracy (IPD)
·
Artikel oleh Jesus S. Anam dengan judul “Biaya politik
semakin melonjak, apanya yang salah?” dalam www.militanindonesia.org di akses pada tanggal 27 April 2013
·
Ramlan
Surbakti.1992. memahami ilmu politik.jakarta:
PT Gransindo.
·
http://www.unisosdem.org
·
http://www.infogue.com
·
http://regional.kompas.com
[3]
Penulis kutip Dalam buku “evaluasi kritis penyelenggaraan PILKADA di Indonesia”
oleh IPD (the Indonesian Power for Democracy.e editor Gregorius Sahdan dan
Muhtar Haboddin).2009.hlm 127.
[4]
Penulis dapat dari dokumen KPUD berdasarkan laporan tim kampanye fauji bowo,
laporan penerimaan dan penggunaan dana kampanye periode tanggal 17 mei s/d 8 juli 2013. (3 hari setelah pasangan calon di tetapkan
sebagai peserta pemilu sampai dengan 1 hari setelah kampanye berakhir)
[5]
Sumbangan kader itu meliputi seluruh kader PKS (yg merupakan Parpol dari
Hidayat nur Wahid) yang duduk di
legislative seperti DPR, DPRD provinsi dan kota wajib memberikan uang sumbangan
mulai 2500.000. bahkan dalam laporan sumbangan dana kampanyenya ke KPUD sumbangan perseorangan dapat mencapai 50 jt
lebih/orang. Total dana sumbangan perseorangan mencapai 18 M. sedangkan dana
pribadi pasangan calon hanya 1,1 M.
[6] www.metrotvnews.com/ 03 Maret 2013
[7] Dari total penerimaan dana 20,2 M, Gatot dan Tengku Erry
Nuradi pos pengeluaran, pertemuan terbatas menghabiskan dana Rp 20,jutaan,
pertemuan tatap muka dan dialog Rp 4,1 jutaan, penyebaran mesia massa cetak dan
media massa elektronik sebesar Rp 1 Miliaran, penyebaran bahan kampanye kepada
umum sebesar Rp 13,6 Miliar, pemasangan alat peraga di tempat umum Rp 9-an
juta, rapat umum Rp 1,3 miliar, debat pasangan calon Rp 10-an juta dan kegiatan
lain yang tidak melanggar kampanye dan perundang-undangan sebesar Rp 3,5 Miliar
lebih.Pasangan Gatot juga melakukan pembelian peralatan sebesar Rp 78
juta-an, lain-lain Rp 170 juta-an ditambah pengeluaran lain-lain sebesar Rp 201
juta-an.
[8] Pasangan kedua yang memiliki dana kampanye terbesar yakni,
pasangan Gus Irawan Pasaribu-Soekirman dengan total penerimaan sebesar Rp 18.025.104.004
dan pengeluaran dengan total Rp 17.913.950.841 yakni pengeluaran terbesar pada item percetakan dan pengadaan atribut
kampanye yang mencapai Rp3,737 miliar lebih dan meyisakan saldo sebesar Rp 111.153.163.
[9] Pasangan ketiga yang memiliki total dana pemerimaan kampanye
takni pasangan Amri Tambunan dan RE Nainggolan sebesar Rp 5.232.000.000 dengan
total pengeluaran sebesar Rp 5.230.763.000 dengan saldo akhir Rp 1.237.000.
[10] Pasangan ke empat yakni Effendi Nainggolan dan Jumiran Abdi
memiliki dana kampanye sebesar Rp 4.996.500.000 dengan total pengeluaran Rp
4.996.431.980 dengan sisa saldo Rp 68.020.
[11]
Kompas.com/6 oktober 2012
[13] Menurut Rahardjo, salah satu pengurus
partai politik pengusung pasangan bakal calon gubernur Jateng, kompas Rabu, 6
Maret 2013
[16]
Ibid,hlm 122
[17]
Belian menulis dalam buku “Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Daeran” yang
penulis kutip dari buku ;” evaluasi
kritis penyelenggaraan PILKADA di Indonesia” oleh Gregorius sahdan, Muhtar
Haboddin.IPD.2009.