Rabu, 14 November 2012

koruptor adalah para penjahat yang harusnya dimusuhi oleh rakyat, kejahatan yang di lakukan koruptor bukan hanya masalah pencurian uang negara, tetapi sudah pelanggaran HAM. koruptor membuat negara ini makin miskin dan makin tertinggal pembangunan nya, yang miskin semakin tertindas.

SAVE KPK...SAVE KPK..SAVE KPK


Minggu, 25 Maret 2012

kajian teori ACF dalam kasus pemekaran sofifi maluku utara

PRO KONTRAK PEMEKARAN SOFIFI SEBAGAI IBUKOTA PROVINSI MALUKU UTARA DALAM KAJIAN TEORI ACF
oleh Uswanti Alkatiri
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya Malang
 

ABSTRAKSI

Aktor dari advocacy coalition terdiri dari pelaku-pelaku dari sejumlah institusi swasta dan pemerintah dalam semua level organisasi pemerintah yang berhubungan atas dasar kepercayaan pada pencapaian tujuan dengan menyusun peraturan, anggaran dan personil institusi pemerintah. Policy maker dalam perumusan kebijakan pemekaran sofifi dan pembentukan daerah otonomi baru dari kecamatan menjadi kota definitif di Maluku utara adalah sebuah subsistem yang terbentuk dari interaksi aktor Tim Subsistem,gubernur, DPRD, AMOB (aliansi oba bersatu ), sulta tidore, walikota, DPRD tidore merupakan aktor utama kontroversi ini. Aktor utama tersebut berkoalisi advokasi memperjuangkan kepentingan dan eksistensi daerahnya masing-masing. koalisi advokasi menyebabkan kuatnya konflik antar koalisi advokasi. dengan pendekatan ACF, dapat di jelaskan perilaku tokoh elit politik ini. dengan 3 tingkat kepercayaan : Common belief atau deep/normative core, Core of belief system, External factors.. Dalam analisis ini, aktor yang terlibat konflik, sebenarnya memiliki kepentingan untuk di perjuangkan, perebutan dan pertarungan terjadi, kota tidore merasa eksistensi daerahnya akan terancam dengan di lepasnya sofifi, sedangkan bagi pemerintah provinsi, khususya Gubernur ini merupakan lahan kekuasaan baru untuk kepentingan politiknya,gubernur muncul sebagai pahlawan pembela rakyat sofifi. konflik ini makin memanas dengan mobilisasi massa oleh AMOB. Kontroversi ini terjadi dalam 2 arah, secara vertical, dan horontal. vertikal antara pemprov Maluku utara dan pemkot tidore, serta antara rakyat sofifi dan pemkot tidore.
Kata kunci : AFC, aktor politik, pemekaran sofifi, konflik,








ABSTRACTION

Actors from advocacy coalition consisting of the principal actors of a number of institutions-private and Government in all levels of Government-related organizations on the basis of belief in the achievement of goals to develop rules, budget and personnel of government institutions. Policy makers in policy formulation and the establishment of the expansion Sofifi autonomous regions of the new town became a city in North Maluku definitive is a subsystem that is formed from the interaction of actors Tim Subsystem, Governor, LEGISLATIVE DECREE, AMOB (Oba United Alliance), the sultan of Tidore, Tidore was Mayor, DPRD lead actor of this controversy. The main actors include advocacy in pursuit of the interests and existence of souls in each. a coalition of advocacy cause strong conflicts between advocacy coalition. with the approach of the ACF, can explain the behavior of the political elite. with 3 levels of trust: Common belief or deep/normative core, Core of belief system, External factors. In this analysis, the actors involved in conflict, are in fact have an interest in the struggle to stand for, and the fight took place, the city tore the souls will feel threatened by the existence of the unanticipated sofifi, whereas for the provincial government, in particular the Governors of the land for the benefit of his political power, the new Governor emerged as the hero of the people's Defender sofifi. the conflict further escalated with mass mobilization by AMOB. This controversy took place in two directions, in vertical and horizontal. vertical between the local Government of the province of North Maluku and the local Government of city of tidore, and between the people and the local Government of city of tidore sofifi.
keyword : Advocacy coalition framework ( AFC ) , political actor , unfoldment sofifi , conflict ,









BAB I
Kontroversi pemekaran sofifi dalam perspektif ACF

Gagasan pemekaran wilayah sebagaimana di jelaskan oleh para ahli bahwa cenderung menimbulkan konflik horizontal dan vertical (Husen dan Oesman.2005 ) sejalan dengan hal tersebut,terjadi di provinsi Maluku utara, muncul pro dan kontra dalam pemekaran ibukota provinsi Maluku utara yakni sofifi, ibukota sementara yang berkedudukan di ternate akan di pindahkan ke ibukota definitifnya di sofifi. Secara definitif, Maluku Utara yang diresmikan menjadi provinsi terpisah dari Maluku pada 12 Oktober 1999 melalui UU No 46 Tahun 1999 beribu kota di Sofifi, Kecamatan Oba Utara, terletak di Bukit Gozale, poros Pulau Halmahera, 
akan tetapi permasalahannya yang menuai adalah sofifi masih berstatus kecamatan, sehingga di perlukan 2 langkah, dimana sofifi akan di persiapkan dalam pengembangan menjadi ibukota provinsi dan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) bagi sofifi. sofifi yang tergabung dalam kota tidore kepulauan, dari pihak pemerintah kota TIKEP memandang berbeda dalam pemekaran sofifi. Kota tidore menantang keras pemekaran sofifi, bahkan DPRD[1] telah mengadakan siding paripurna pada bulan mei 2011 dan menolak usul pemekaran sofifi yang telah lebih dahulu di rumuskan oleh pemerintah provinsi. di sisi lain pemerintah provinsi telah mempersiapkan pengembangan sofifi,sejumlah kantor milik provinsi sudah di bangun di sofifi, kantor gubernur, DPRD, kepolisian, kejaksaan, beberapa dinas sudah di bangun sebagai perangkat kerja pemerintah provinsi.
Memang Sejak di rumuskannya usul pemekaran ibukota provinsi berawal dari insiatif gubernur Maluku utara Taib Armain dengan DPRD provinsi yang kemudian di ajukan ke kementrian dalam negeri. Hal ini lalu mendapat tanggapan dari walikota tidore kepulauan selaku daerah induk dan DPRD kota tidore kepulauan serta sultan tidore yang mengeluarkan maklumat secara tidak resmi untuk menolak rencana pemekaran sofifi[2] . protes lain datang dari aliansi masyarakat oba bersatu (AMOB) turut mendukung di mekarkan sofifi dan turut mengajukan tuntutannya di kantor DPRD provinsi dan kantor Gubernur Maluku utara[3].
Pemerintah provinsi dan Gubernur dengan mantapnya menyusun rencana pemekaran wilayah ini tanpa berkoordinasikan dulu dengan pemerintah kota tidore kepulauan. Dan secara langsung melakukan uji kelayakan di wilayah sofifi, dengan bekerjasama dengan universitas indinesia. Pemerintah kota tidore juga tidak mau kalah, kerjasama di lakukan dengan universitas Gajah Mada Jogjakarta untuk meneliti, apakah sofifi layak di mekarkan atau tidak. Dan hasil dari UGM sofifi tidak layak utnutk di mekarkan. Namun, gebernur dan DPRD provinsi yang Dengan dalil yang merujuk  pada UU Republik Indonesia no. 46 tahun 1999 tentang pembentukan provinsi Maluku Utara pada bab II pasal 9, menjelaskan bahwa ibukota provinsi Maluku utara berkedudukan di sofifi.  Dan sudah menunggu 10 tahun untuk di realisasikan, dan awal tahun 2011 lah usul itu di ajukan kepada kementrian dalam negeri dan DPR RI komisi II.
Melihat fenomena kasus di atas, terlihat bahwa ada keikutsertaan para elite politik yang bersiteru dalam perang dingin yakni antara pemeritah daerah induk (kota tidore kepulauan) dan pemerintah provinsi. Terlihat tidak ada kesepahaman dalam merumuskan pemekaran ibukota provinsi. Seperti terlibat, ada kepentingan yang bermain dalam rencana pemekaran ini. Melalu pendekatan teori Advokasi Koalisi Framework (ACF), bisa di peroleh penjelasan sebagai berikut : ACF (Advocacy Coalition framework) yaitu sekelompok pengambil kebijakan dalam subsistem kebijakan. Aktor dari advocacy coalition terdiri dari pelaku-pelaku dari sejumlah institusi swasta dan pemerintahdalam semua level organisasi pemerintah yang berhubungan atasdasar kepercayaan pada pencapaian tujuan. (Howlett dan Ramesh,1995 :125). ACF disajikan kadang-kadang sebagai pengganti PPA (proses analisis kebijakan ), AKP dapat menambah ACF ketika rincian tentang bagaimana koalisi berevolusi dan bagaimana mereka benar-benar menerjemahkan keyakinan mereka ke dalam perilaku pemerintah diperiksa. Dalam sebuah kebijakan public, ada Tiga set proses :
 (a) interaksi koalisi advokasi bersaing dalam subsistem kebijakan, (sebuah koalisi advokasi terdiri dari aktor-aktor dari berbagai jenis kelompok di berbagai tingkatan yang berbagi mengatur set keyakinan dasar, seperti tujuan kebijakan dan hubungan kausal, mereka berusaha untuk memanipulasi aturan , anggaran, dan personil lembaga pemerintah untuk mencapai tujuan mereka)  terlihat jelas, kalau rumusan kebijakan pemekaran ibukota berasal dari gubernur dan langsung di ajukan ke mendagri (dari atas) dan sehingga banyak peluang yang di manfaatkan, semisalnya, perlu ada timpang tindih kepentingan yang kesemuannya itu perlu siapa member apa dan siapa menerima apa. Dalam kasus ini sultan tidore dengan tegas menolak pemekaran sofifi dan makluman itu langsung di arahkan kepada walikota dan anggota DPRD agat mendengar makluman dari sultan, ada apa di balik itu semua?? Dan apa tujuan gubernur dalam mempercepat perpindahan ibukota provinsi padahal infrastruktur belum sepenuhnya rampung di bangun. Sarana prasrana belum di persiapkan secara matang, apa yang mendasari gubernur berlaku demikian?? Apakah murni karena gubernur sangat memperhatikan nasib rakyat sofifi??

(b) perubahan eksternal ke subsistem dalam kondisi sosial ekonomi, sistem-lebar koalisi pemerintahan, dan output dari subsistem lainnya yang memberikan kesempatan dan hambatan untuk coaltiions bersaing,

(c) efek dari parameter sistem yang stabil, seperti struktur sosial dan aturan konstitusi, pada kendala dan sumber daya dari berbagai subsistem pelaku. Kebijakan berorientasi belajar biasanya terbatas pada aspek sekunder dari sistem kepercayaan (seperti Kuhn berpendapat dalam Struktur yang Revolusi Ilmiah ").
 Cirri-ciri ini semakin menunjukan bahwa ada koalisis kepentingan yang di bangun antara DPRD provinsi dan Gubernur di lain sisi juga bersebrangan dengan kolisi Sultan tidore, walikota dan sebagian DPRD kota tidore. Lalu bagaimana nasib masyarakat melihat ini, apakah ini akan menjadi tontonan yang menarik buat rakyat yang lebih penting dari pada aspirasi dan suara rakyat itu sendiri? Sebenarnya apa yang di perjuangkan? Masing-masing membawa lebel, kesiapan daerah dan nasib rakyat, tapi apakah itu sejalan dengan misi perubahan yang di wacanakan? Dari sini lah penulis mencoba menguraikan problem ini dengan pendekatan teori advocacy coalition framework (ACF).



BAB II
Pemahaman teori ACF

ACF theory atau advocacy coalition framework atau dengan istilah Indonesia “Koalisi Advokasi kerangka kerja (ACF) pada awalnya dirancang pada akhir tahun 1980 oleh Paul Sabatier dan Hank Jenkins-Smith untuk membantu menjelaskan struktur koalisi dan perilaku, peran informasi ilmiah dan teknis dalam pembelajaran kebijakan, kebijakan yang berorientasi, dan keyakinan dan perubahan kebijakan dalam subsistem kebijakan perdebatan. Jejaring koalisi advokasi terbentuk dari aktor kepentingan dan penekan, bersama-sama dengan provokator atau perangkat pemicu membentuk kelompok penengah. Peran penengah member tekanan terhadap penguasa untuk mengeluarkan kebijakan, membentuk perubahan subsistem kebijakan.

Sabatier (1993) meneliti suatu jejaring kebijakan dan menamakan Advocacy Coalition yaitu sekelompok pengambil kebijakan dalam subsistem kebijakan. Aktor dari advocacy coalition terdiri dari pelaku-pelaku dari sejumlah institusi swasta dan pemerintah dalam semua level organisasi pemerintah yang berhubungan atas dasar kepercayaan pada pencapaian tujuan dengan menyusun peraturan, anggaran dan personil institusi pemerintah. (Howlett dan Ramesh,1995 :125).

 Koalisi advokasi adalah jenis jejaring kebijakan, merupakan hybrid model subsistem kebijakan dalam kerangka policy network. Koalisi advokasi dapat muncul pada semua level
kebijakan, baik tingkat nasional, subnasional dan lokal. Jejaring kebijakan dalam suatu subsistem kebijakan dapat dipelajari melalui koalisi dari aktor-aktor jejaring kebijakan. Hal ini disebabkan subsistem kebijakan merupakan jejaring kebijakan yang terdiri dari sejumlah
koalisi-koalisi advokasi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan keyakinan dan sumberdaya yang mereka miliki. (Parsons, 2005: 198). Penetapan agenda dan tahap lainnya dalam proses kebijakan didominasi oleh opini elit. Dampak dari opini publik paling-paling
hanya bersifat modest. (Sabatier, 1991:148;!993: 30 dalam Parsons, 2000 : 199) Semakin banyak kepentingan aktor yang terlibat dalam jejaring kebijakan akan semakin memperbesar koalisi baik secara kualitas maupun kuantitas. Semakin banyak tumbuh koalisi tidak menjamin kemudahan perumusan kebijakan bahkan dapat mengancam proses perumusan kebijakan. Koalisi ‘tidak terkendali’, besar kemungkinan terjadi dalam arena kebijakan. Koalisi ini terbentuk dalam rangka mewujudkan opini elit. Kondisi ini hanya dapat teratasi
dengan kemunculan sang penengah (policy brokers). Penelitian tentang aktor kebijakan dalam jejaring kebijakan publik antara lain dilakukan Cobb dan Elder (1972:85 dalam Parsons, 1997:127) yang menemukan bahwa aktor kebijakan adalah komunitas kebijakan yang terdiri dari pemerintah, sekelompok publik yang berpartisipasi di bawah inisiator atau peminpin opini dengan tekanan media massa. Jejaring kebijakan adalah suatu hubungan yang terbentuk akibat koalisi diantara aktor pemerintah, masyarakat termasuk privat. (Waarden, 1992 : 29-52 dalam Howlett dan Ramesh,1995 :130). Aktor kebijakan sering juga disebut sebagai stakeholders.

Dalam membangun keinginan koalisis dalam melakukan suatu kerangja kerja, muncul nilai kepercayaan antara aktor, baik itu antara aktor privat dan public maupun aktor swasta dalam  semua level organisasi pemerintah, tampil pada saaat pemerintah menyusun peraturan, anggaran dan personil institusi pemerintah. Sistem kepercayaan yang melandasi hubungan diantara aktor terdiri atas tiga (3) tingkat kepercayaan, yaitu :

 1.) Common belief atau deep/normative core, suatu kepercayaan dan kesamaan persepsi pada tujuan kebijakan berdasarkan kesamaan pengetahuan tentang masalah publik yang menarik perhatian aktor-aktor tersebut. Kepercayaan ini seringkali berkaitan dengan sifat dasar manusia baik sebagai individu maupun sebagai kolektif. Kepercayaan yang bersumber dari sifat dasar manusia, dalam kenyataan sangat sulit diubah;

2) Core of belief system yaitu sistem kepercayaan berdasarkan atas pandangan yang sama terhadap sifat alami kemanusiaan dan beberapa kondisi yang diinginkan manusia. Koalisi berlandaskan sistem kepercayaan ini sangat stabil persatuannya sulit dirubah;

3) External factors meliputi uang, keahlian, jumlah pendukung, legal otoritas, pendapat umum, teknologi, tingkat inflasi, nilai-nilai budaya . Sistem kepercayaan yang terbentuk dari faktorfaktor eksternal relatif mudah berubah.



 Ketiga system kepercayaan di atas di bentuk oleh 5 sumber nilai (Wart.1998 : 8-23) yakni :

1.      Nilai-nilai individu. Nilai individu saling bersaing dan memiliki banyak perbedaan, namun apabila suatu Negara memiliki kepentingan dan nilai individu yang dapat dipersatukan, maka tercapai integritas yang memperkuat Negara melalui perumusan kebijakan Negara yang berlabel public.

2.      Nilai-nilai professional. Birokrasi public sering dianggap indispliner dan tidak professional organisasi-organisasi profesi dapat menyelenggarakan pelatihan dan menjadi contoh profesionalisme bagi organisasi public. Kelemahan organisasi profesi seringkali mereka menekan organisasi public, mirip yang di lakukan kelompok kepentingan.


3.      Nilai-nilai organisasi. Kepentingan organisasi dalam kebijakan mencerminkan 2 kekuatan yaitu struktur organisasi dan budaya organisasi merubah atau mempertahankankan kedua kekuatan tersebut, dapat menimbulkan konflik dengan hokum, integritas individu dan kelompok kepentingan. Nilai-nilai organisasi dapat memperkuat kebijakan agar berstandar pada kepentingan public sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan, tekad kuat pemimpin untuk melaksanakan total Quality management (TQM) dan revolusi manajemen

4.      Nilai-nilai legal. Nilai-nilai ini tercermin dalam konstitusi suatu Negara. Perubahan konstitusi akan mengubah berbagai peraturan dan kebijakan Negara. Secara procedural, konstitusi mengatur berbagai kebijakan agar tidak bertentangan dengan konstitusi, karena itu konstitusi harus mencerminkan kepentingan public.
5.      Nilai-nilai kepentingan public. Nilai-nilai kepentingan public adalah nilai-nilai yang harus mendasari jejaring kebijakan publik.

Berikut ini skema menganai analisis dari ACF terkait konflik yang terjadi seputar koalisis aktor tertentu :

Beberapa hal dari kerangka koalisi advokasi dikembangkan oleh Sabatier dan Jenkins-Smith (1993; lihat juga Sabatier 1988.). adalah:
a.       untuk menambah kekakuan yang lebih teoritis untuk literatur kebijakan dengan menyusun proposisi dapat diuji mengenai perubahan kebijakan dan kontinuitas. dan
b.      untuk mengatasi kekurangan pendekatan empiris awal berdasarkan tahap yang berbeda dalam proses kebijakan.
Secara khusus. Sabatier dan Jenkins-Smith (1993) mencatat bahwa tahap penetapan agenda dan fakta fmding freqllently bercampur. bahwa pendekatan top-down legalistik dari model tahapan ini sering bertentangan dengan praktek yang sebenarnya. dan bahwa evolusi kebijakan melibatkan beberapa siklus berinteraksi (bukan siklus kebijakan tunggal) di antara berbagai tingkat pemerintahan (Sabatier & Jenkins-Smith. 1993 hal 2-4.). Berlawanan dengan pendekatan bertahap. ACF menyoroti "penggunaan advokasi analisis; 'atau politisasi pengetahuan dan sifat lintas-pemotongan kebijakan koalisi.Advokasi koalisi dalam subsistem kebijakan terdiri dari "Aktor dari berbagai lembaga publik dan swasta di semua tingkat govenunent yang berbagi satu set kepercayaan dasar (tujuan kebijakan ditambah persepsi kausal dan lainnya) dan yang berusaha untuk memanipulasi aturan. Anggaran dan personil instibltions pemerintah. Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ini dari waktu ke waktu "(Sabatier & Jenkins-Smith. 1993 hal 5.).
Karena keyakinan inti. "lem" yang menyatukan koalisi advokasi. tidak berubah dengan mudah. ACF lebih merupakan teori kontinuitas dari teori perubahan (Mintrom & Vergari. 1996). Hasil-hasil kebijakan tersebut dibatasi oleh "parameter sistem yang stabil." yang dapat mencakup struktur sosial dan aturan konstitusional. Perubahan kebijakan dari waktu ke waktu adalah fungsi dari peristiwa luar subsistem. yang bisa termasuk internasional. sosial ekonomi. ilmiah. atau pemilihan shift. Policyoriented belajar di koalisi. di mana salah satu atau kedua koalisi · mengubah keyakinan inti mereka. difasilitasi oleh:
(a) tingkat moderat konflik.
(B) masalah yang penurut analitis. dan
(c) adanya sebuah forum di mana para ahli diprofesionalkan dari koalisi bersaing harus membenarkan klaim mereka sebelum rekan-rekan mereka (Sabatier & Jenkins-Smith. 1993 hal 48-55.).

ACF cocok untuk analisis proses kebijakan lingkungan. Pertama. pemecahan masalah lingkungan biasanya melibatkan beberapa instansi dan tingkat pemerintahan dan didorong oleh koalisi stakeholder yang beragam. Kedua. lebih dari isu-isu lainnya. kebijakan lingkungan didorong oleh pengetahuan teknis dan analitis. Ketiga. karena keyakinan inti dari koalisi bentrok umumnya dipegang baik dan fundamental dapat dibandingkan. informasi ilmiah yang mudah dipolitisasi. khususnya dalam sistem kebijakan yang lebih permusuhan. Memang. karena saya berpendapat lain. politisasi ilmu adalah ciri dari, proses kebijakan lingkungan. (Litfin. 1994). Akhirnya. meskipun fakta bahwa agenda kebijakan lingkungan sering adalah ilmu-driven. hasil-hasil kebijakan tersebut dibatasi oleh struktur sosial-ekonomi dan politik. Mengingat kesesuaian antara isu ACF dan lingkungan. tidaklah mengherankan bahwa kerangka tersebut telah diterapkan sehingga sering di arena ini: polusi udara di Amerika Serikat (Sabatier. 1993), untuk politik California air (Munro. 1993), untuk minyak lepas pantai dan pengeboran gas alam (Jenkins-Smith & St Clair 1993);. dan kebijakan lingkungan di Danau Tahoe (Sabatier & Brasher 1993).. Namun. mencerminkan bias domestik dari bidang studi kebijakan. ACF telah diterapkan sebagian besar ke dalam negeri (khususnya AS) isu-isu kebijakan.


BAB III
Aplikasi teori ACF dalam kasus pro kontra pemekaran sofifi

Aktor Kebijakan
Aktor dalam Tim Subsistem adalah Tim yang terdiri atas aktor resmi dari Pemerintah seperti walikota, DPRD kota tidore kepulauan dan Gubernur dan DPRD provinsi Maluku utara dan juga camat oba. Aktor tidak resmi berasal dari LSM seperti AMOB yang di ketuai oleh Umar A. kadir,berbagai perguruan tinggi dan masyarakat. Aktor tersier yaitu para pakar tim peneliti dari UGM dan UI. Aktor sekunder, yakni tim peneliti dari UGM dan UI. pemerintah kota tidore, mendatangkan tim pengkaji dari UGM (unversitas gajah mada jogjakarta) untuk meneliti apakah sofifi layak untuk di jadikan DOB. Penelitian ini secara terpisah juga di lakukan oleh Gubernur dan pemerintah provinsi yang mendatangkan tim pengkaji dari UI (universitas indonesia) untuk mengkaji sofifi.

Aktor informal lain berasal dari sultan tidore, pihak kesultanan tidore juga menolak pemekaran sofifi. Menurut berita di media online[4] menyebutkan :
“Menurut Djafarsyah (sultanTtidore ), syarat pemekaran Sofifi masih tidak lengkap. "Penolakan itu sudah saya layangkan melalui surat, sekaligus mendesak kepada Pemkot Tikep untuk segera membatalkan proses pemekaran.Sofifi," kata Djafar, di Ternate, kemarin. Ditegaskan, pemekaran Sofifi menjadi kota definitif tidaklah mudah karena ada 29 poin administrasi yang harus dipenuhi sebagai pelengkap sebuah daerah itu dimekarkan.”

sikap penolakan ini tetap di pertahankan sultan, walaupun pemekaran Sofifi menjadi kota adalah tuntutan Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemebeniu-kan Provinsi Maluku Utara yang menyebutkan Ibukota Provinsi Malut berada di Sofifi. Akan tetapi sultan tetap mengelurkan maklumat agar di perhatikan oleh pihak pemerintah kota. biar bagaimanapun, pihak pemerintah kota masih menghormati posisi sultan sebagai pemimpin masyarakat adat tidore. Dalam media online ini, lebih lanjut sultan mengeluarkan pernyartaannya bahwa :
“Jika pemekaran terus dilanjutkan, lanjutnya, pihak kesultanan mengancam akan mencabut gelar piagam penganugerahan gelar pahlawan nasional dan pemberian bintang maha putra Adiprdana kepada Sultan Nuku. Selain itu. Djafar meminta kepada pemda agar maklumat yang dikeluarkan Sultan Tidore dijadikan sebagai salah satu hukum dasar tidak tertulis. Sultan berharap. Pemkot Tikep tetap mendukung maklumat Sultan Tidore dan meminta agartim independen yang didatangkan dari UGM bisa melakukan kajian secara komprehensif tentang pemekaran Sofifi.”

namun di lain sisi, melihat ekspresi perjuangan masyarakat sofifi dan sekitarnya yang berupa unjuk rasa yang kemudian berujung pada di keluarkannya rekomendasi oleh DPRD provinsi maluku utara pada sekitar bulan desember tahun 2010 yang intinya merekomendasikan agar segera memekarkan sofifi sebagai ibukota provinsi maluku utara, dilihat dari aturan undang-undang otonomi daerah dan dari segi mekanisme maka dapat di katakana telah melanggar aturan dan terkesan sangat politis, alasannya karena melangkahi wewenang dari DPRD kota tidore kepulauan yang merupakan keterwakilan dari masyarakat sofifi.

lain hal juga, idealnya dalam menyusun rencana detail tata ruang kota sofifi sudah sepantasnya pemerintah provinsi berkoordinasikan dengan daerah kabupaten/kota dalam hal ini kota TIKEP yang memiliki Otoritas terhadap wilayah sofifi sebagai bagian dari upaya mempersiapkan pemekaran dan bukan dikerjakan sepenuhnya oleh pemerintah provinsi. bukannya sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi bila di lihat dari segi penerapan sistem otonomi daerah.

Akan tetapi anggapan lain muncul dari gubernur Maluku utara . maksud dari pemerintah provinsi mengambil inisiatif tersebut di sebabkan tidak ada inisiatif dari pemerintah kota tidore, sejak tahun 1999 sampai 2010. Tidak ada wacana yang di lontarkan pemerintah kota tidore untuk mengembangkan sofifi sebagai ibukota provinsi. permasalahan ini, di analisis mungkin karena masalah financial. Untuk itu, pemprov merasa perlu menangani langsung proses persiapan ini. Lebih jauh gubernur menjelaskan, pemekaran Sofifi menjadi sebuah kota baru di Malut dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Sofifi.

Dari uraian di atas, tanpa mencari siapa yang di anggap salah atau siapa yang akan jadi pahlawan, untuk saat ini dapat kita asumsikan bahwa mungkinkah ada oknum tertentu yang sengaja mengkondisikan hal tersebut guna mengambil peluang dan posisi politik untuk mengusung siapa yang lebih berhak memimpin kota sofifi kedepannya, ataukah dapat di indikasikan telah terjadi pertarungan kepentingan yang berujung pada bagi-bagi kekuasaan yang pada akhirnya masyarakatlah yang di korbankan.


Perbedaan hasil penelitian tentang uji kelayakan sofifi menjadi DOB

Melanjutkan dari pembahasan di atast, Setelah muncul pernyataan dari sultan tidore, pihak pemerintah kota tidore mendatangkan tim peneliti dari universitas Gajah Mada Jogjakarta untuk melakukan penelitian dan uji kelayakan di sofifi. Pihak pemerintah provinsi juga tidak mau kalah, pemprov mendatangkan tim peneliti dari universitas Indonesia untuk melakukan penelitian di sofifi.  Alhasil muncul juga 2 hasil yag berbeda. Tim dari UGM yang dilaporkan kepada walikota tidore, menerangkan kalau sofifi belum layak di jadikan DOB  dengan pertimbagan sarana dan prasarana. Hasil ini kemudian di laporkan kepada DPRD kota tidore dan DRPD menyelenggarakan sidang paripurna membahas hasil kajian dari UGM dan mengambil keputusan, apakah di setujui atau di tolak. Sedangkan hasil penelitian dari UI menyatakan bahwa sofifi layak untuk di jadikan DOB. Informasi ini kemudian di bahas dalam sidang paripurna DPRD pada tanggal 13 mei 2011, sejumlah perdebataan muncul, 6 dari 20 anggota DPRD tidore adalah berasal dari daerah pemilihan (DAPIL) kecamatan oba yakni sofifi yang juga membawa aspirasi masyarakat oba dan sofifi, akan tetapi aspirasi seluruh masyarakat tidore bahkan ketua DPRD tidore yang berasal dari DAPIL oba/sofifi pun menyetujui untuk di keluarkannya keputusan penolakan sofifi menjadi DOB.
Keputusan ini tentunya menimbulkan amarah AMOB, bahkan mereka mengecam[5] bahka anggota DPRD mengkhianati rakyat, mengkhianati suara rakyat oba dan sofifi serta melawan hukum yakni UU no. 46 tahun 1999 tentang pembentukan provinsi Maluku utara.

Analisis teori ACF

Common belief berupa persepsi yang sama tentang masalah publik yang sangat dibutuhkan masyarakat yaitu pemekaran sofifi yang menjadi DOB sesuai dengan UU no.46 tahun 2007 tentang pembentukan provinsi Maluku utara, agar proses pengembangan ibukota provinsi berjalan dengan cepat, perlu segerah di mekarkan menjadi DOB merupakan sistim kepercayaan yang tumbuh pada setiap aktor kebijakan. Koalisi advokasi tim Subsistem memunculkan sistim kepercayaan core belief berupa peran dan ambisi yaitu kepentingan politik dari aktor resmi yakni antara gubernur dan pemerintah kota tidore dan sultan tidore, yakni dari pihak kesultanan dan pemeritah kota tidore menginginkan status yang lebih bila sofifi dan kecamatan oba di lepaskan dari daerah kota tidore kepulauan. Dari sumber yang ada di pemerintah kota, menyebutkan bahwa, secara tidak langsung, kota tidore mengharapkan ada yang di pertukat kan, walaupun alasan penolakannya menjelaskan tentang sarana dan prasarana dan kesiapan masyarakat yang belum  siap menjadi daerah provinsi, namun di balik itu semua sebenarnya kota tidore mengingnkan ada nya peningkatan status menjadi Daerah otonomi khusus. Ini jelas untuk keberlanjutan kota tidore kepulauan, sperti yang telah di jelaskan di awal. Kalau salah satu PAD kota tidore adalah di sofifi, dan kalau sofifi dilepas dari tidore, tentunya tidore akan mengalami penurunan financial dan berujung pada kota mati.

Pertimbangan lain yang di sampaikan oleh sultan tidore terkait peningkatan status kota tidore menjadi daerah otonomi khusus di karenakan, secara historis, perjuangan sultan NUKU yang ikut mempersatukan NKRI, yakni membantu pembebasan Irian Barat dank arena ibukota sementara Irian Barat pernah di tempatkan di tidore. Ini memiliki nilai sejarah dan patut untuk mendapat apresiasi dari pemerintah pusat.

Core belief  pada tiap aktor berupa nilai kepentingan individu dan pemerintah provinsi Kota saat menyusun rencana pemekaran sofifi. Pemerintah provinsi dan AMOB membentuk koalisi advokasi hal ini juga terjadi pada pihak pemkot, walikota, DPRD dan sultan Tidore serta camat oba.

 Nilai kepercayaan ini mencerminkan kekuasaan dan ego kelembagaan. External factor atau secondary belief  berupa peluang adanya lahan kekuasaan baru, kepentinga politik, peran dan ambisi yang menyebabkan rencana pemekaran sofifi di dukung oleh AMOB dan pemprov provinsi dan gubernur.
Aktor tersier atau yang juga menjadi penengah adalah Mendagri dan tim peneliti UGM. Core belief pada tiap aktor berupa nilai kepentingan individu dan lembaga bahwa secara ex officio mereka harus memperjuangkan peran dan ambisi agar pemekaran sofifi yang merupakan tuntutan UU tidak di tunda lagi dan segerah menjadi agenda utama bagi pemerintah kota Tidore dan Pemerintah provinsi Maluku utara. Core belief berupa system kepentingan politik muncul dalam persetujuan kebijakan yang akan menjadi landasa untuk di ajukan ke pemerintah pusat untuk kemudian di minta persetujuan terkait Pembentukan DOB untuk sofifi. Core belief berupa kepentingan politik dimiliki Walikota dan Partai Golkar pada periode jabatan kedua. Core belief kepentingan di tingkat provinsi dimiliki Gubernur Propinsi Maluku utara , dan Partai Demokrat. Pejabat politik dan partai saling berinteraksi agar opini elit menjadi keputusan politik di untuk di setujui dan di bawah ke pemerintah pusat. namun setelah tidak mendapat titik temu, yakni, rencana dari pemerintah provinsi yang tidak di setujui oleh DPRD kota, di tambah lagi dengan kasus pemalsuan surat keputusan DPRD kota tidore kepulauan dengan tanda tangan ketua DPRD yang di palsukan tentu menambah rumit dan di buat melingkar. Maka pemerintah pusat memutuskan untuk mengambil alih rencana pemekaran sofifi. Persoalan ini akan di tangani oleh pemerintah pusat.
 Factor di bawah ini, pemetaan hubungan dengan factor yang terjadi mengenai kontroversi pemekaran sofifi, dalam diagram AFC yakni mengenai relatif stabil parameter,memuat
1. dasar atribusi sumber daya alam
2. nilai sosial budaya dasar dan struktur sosial3. dasar konstitusional struktur. Dalam atribut sumber daya alam, di ketahui bahwa sofifi memiliki daerah yang subur, hasil pertanian yang besar seperti pala, cokelat, kepala yang cukup potensial, di tambah dengan hasil laut. Dengan wilayah yang strategis, yakni di tengah pulau Halmahera,yakni Halmahera tengah sehingga  menjadi jalur persinggahan dan penghubung baik ke Halmahera utara, maupun ke Halmahera selatan. Perebutan kekuasaan untuk menjadi raja di kota sofifi merupakan peluang yang menggiurkan. Apalagi di perkuat dengan tuntutan UU mengenai daerah yang di tunjuk menjadi ibukota secara langsung kedudukannya harus menjadi kota.
panjang struktur kesempatan koalisi jangka1. tingkat konsensus yang diperlukan untuk perubahan kebijakan utama2. keterbukaan sistem politik 3. tumpang tindih perpecahan sosial.dalam kontroversi ini, sulit di bangun consensus antara pemkot dan pemprov, masing-masing dengan kepentingannya yang bertentangan, sulit untuk duduk bersama untuk membicarakan arah pengembangan kota sofifi. apalagi daro pemerintah kota merasa belum merasa di untungkan terkait dengan di lepaskannya sofifi dari wilayah kota Tidore. Berangkat dari hal ini, keterbukaan politik pun menjadi barang mewah. DPRD yang seharusnya di harapkan jadi perpanjangan tangan dan jembatan penghubung dan pengendalian suasana konflik, jutru ikut berkonflik dan turut mencuri peluang untuk memanfaatkan pihak yang berkonflik dengan keuntungan pribadi maupun golongan, sebagian lagi memilih ikut instruksi dari partainya, untuk menolak pemekaran, bahkan ketua DPRD tidore juga di lema untuk memilih aspirasi rakyatnya yang di sofifi ataukah peritha partai yang menghendaki agar di tolaknya rencana pemekaran sofifi,walaupun alhasilnya tidak bisa menolak secara mutlak. Dalam kontoversi ini masyarakat terombang ambing oleh dalam kegalauan  pemekaran sofifi. dan menjadi bahan mobilisasi massa masing-masing pendukung.
Dalam sisi subsistem eksternal peristiwa keempat factor di bawah ini turut mewarnai, yakni :
 1. perubahan dalam kondisi sosial-ekonomi
2. perubahan dalam opini publik
3.perubahan dalam koalisi pemerintahan sistemik
4. perubahan dalam subsistem kebijakan lain jangka pendek kendala dan sumber daya aktor subsistem
Perubahan kondisi social ekonomi, dimana masyarakat sofifi yang sudah begitu maju, baik secara materi maupun pendidikan nya bersuara kalau sudah saatnya sofifi mendapatkan hak nya. Setelah kurang lebih 10 tahun kota ternate telah merasakan keuntungan menjadi ibukota sementara Maluku utara, kini saatnya menempatkan posisi yang sebenarnya, di mana sesuai dengan amanat UU, bahwa sofifilah yang menjadi ibukota definitive Maluku utara. Ini menuntut perhatian serius baik oleh pemerintah tidore sebagi daerah indik dan pemerintah provinsi. selama ini tidak ada upaya serius dari kedua pemerintah tersebut dalam mengembangkan sofifi . inilah yang memicu perubahan opini public.
Perubahan dalam koalisi pemerintahn sistemik ini menggandeng aktor pendukung lainnya yakni camat oba utara yang turut menciptakan wacana politik, bahwa masalah pemekaran ini meresahkan masyarakat oba, padahal hampir sebagian masyarakat oba bergabung dalam AMOB untuk mendukung pemekaran. Wacana ini terkesan di buat-buat seolah olah yang di persalahkan adalah pemerintah provinsi. padahal dalam masalah ini semua elemen pemerintah baik itu pemkot maupun pemprov dan DPRD ikut bertanggung jawab.

Kesemuannya permasalahan di atas, baik kebijakan subsistem Koalisi, kepercayaan, sumber daya, strategi, keputusan oleh otoritas pemerintah,institusional aturan yang hendak di keluarkan menjadi kebijakan  yang dimana tentunya menempatkan dampak kebijakan ini ke  masyarakat umum, menjadi sebuah hal yang penting dalam pendekatan ACF. di perlukan pertimbangan dari masing-masing aktor kebijakan, untuk menyamakan presepsi dan pemahan kebijakan yang searah untuk mewujudkan tujuan bersama.


Adapun hubungan antara aktor terkait kontroversi pemekaran sofifi, sebagai berikut :

Relatively stable parameter
1.tuntutan UU no. 46 tahun 1999 tentang pembentukan provinsi Maluku utara
2. social-kultural yakni perkembangan masyarakat yang tidak ingin tergantung dengan kota tidore
3. posisi yang stategis sofifi


 

Long term coalition opportunity structures
1.upaya consensus dengan pemprov dan pemkot serta masyarakat sofifi
2. tumpang tindih perpecahan social, konflik vertical dan horisontal



 

Policy subsystem
1. coalisi A terdiri pemerintah provinsi, gubernur, DPRD provinsi, dan beberapa anggota DPRD tidore dari DAPIL Oba
2. coalisi B, terdiri pemkot,walikota, sultan Tidore,DPRD kota tidore, partai Golkar, dll
3. LSM, AMOB dan masyarakat oba pada umumnya


 















Akan tetapi tuntutan konstitusi sehingga keputusan DPRD tidak mutlak, akan tetapi memiliki bebepa persyaratan, antara lain : harus di siapkannya segala prasarana untuk kota sofifi, setelah siap baru di mekarkan, sesuai dengan hasil kajian oleh UGM

 


Keputusan DPRD kota tidore yang menolak pemekaran sofifi lalu kemudian di serahkan ke DPR RI komisi II


 
                                                                                               









 Upaya membagun Konsensus
Melihat masalah pro dan kontra pemekaran sofiifi, di analisis ada beberapa hal yang melatarbelakangi permasalahan tersebut, berikut analisis nya :
1.      Lemahnya komunikasi politik
Komunikasi politik dalam rencana pembentukan kota sofifi ini amat lemah. Tidak terlihat upaya sungguh-sungguh dari otoritas pemerintah untuk menjembatani kepetingan  politik yang beragam. Pihak-pihak yang berkepentingan saling bersilang pendapat di publik, serta saling berlomba mengambil langkah politik, namun secara subtansif pihak-pihak ini tidak saling bertemu dan membicarakan persoalan secara tuntas. Mobilisasi masa menjadi metode andalan utama pihak-pihak yang berkepentingan, sementara proses dialogis cukup terabaikan. Akibatnya kontroversi seputaran pembentukan sangat kuat dan potensi konflik masih sangat besar.
2.      Minimnya sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana disofifi sangatlah tidak memadai untuk terbentuknya pemerintah kota. tata ruang kawasan masih jauh dari ideal. Peruntukan lahan tidak semuanya memenuhi kaidah tata ruang ideal. Prasarana penunjang sebagai sebuah kota juga masih jauh memadai. Yang jelas, pola okupasi dan struktur perekonomian kawasan ini masih belum menunjukkan karakter masyarakat urban.
Akan tetapi gubernur, DPRD dan AMOB (aliansi masyarakat oba bersatu) terus menekan agar proses pemekaran sofifi segera di lakukan. Ini jelas menunjukan bahwa Gubernur dan DPRD provinsi terlalu memaksakan rencana tersebut, tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat dan kondisi daerah serta tersedianya sarana dan prasarana. Menurut isu yang beredar, anak gubernur juga akan maju dalam pilwako [6](pemilihan walikota) di kota sofifi jika sudah di mekarkan. Maka pertarungan kepentingan politik memang menjadi misi awal pemekaran sofifi, walaupun terkesan di bungkus dengan seolah-olah memperjuangkan aspirasi AMOB.
3.      Pelanggaran prosedur
Prosedur pembentukan kota sofifi  yang berjalan sejauh ini belum betul-betul mematuhi prosedur sebagaimana di atur dalam PP no. 78 tahun 2007. PP ini menekankan bahwa pembentukan DOB haruslah mematuhi persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. PP ini jelas-jelas menekankan pula pentingnya proses pengusulan pembentukan DOB yang berasal dari Bawah dan bukan berasal dari atas. Karenanya PP ini tegas mengatur pentingnya ada aspirasi dari masyarakat yang di rangkai oleh keputusan formal pemerintah desa/kelurahan, di lanjutkan adanya keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi tersebut. Lalu persetujuan bupati/walikota, selanjutnya persetujuan Gubernur dan terakhir ditutup dengan proses kajian dan persetujuan dari pemerintah pusat.
            Sejauh ini proses pembentukan kota sofifi berjalan dengan TOP-DOWN. Ide-ide pembentukan kota lebih banyak berasal dari kelola di level Elit. Bahkan melakukan kajian penelitian yang menurut prosedur sebagaimana disebutkan diatas tidaklah tepat.

Dengan memperhatikan ketiga insufiensi di atas, maka kajian ini merekomendasikan[7] di lakukan beberapa hal berikut, agar pembentukan kota sofifi ini bisa sepenuhnya memenuhi syarat, baik syarat politik maupun syarat regulasi :
1.      Memberlakukan masa jeda kontroversi
Pada intinya seluruh proses pengembangan sofifi sebagai DOB (daerah otonomi Baru) di tunda terlebih dahulu dan di berlakukan status quo. Hal ini akan memberi kesempatan pada pemerintah daerah (baik pemprov maupun pemkot) untuk memperbaiki kapasitas pemerintah daerah dalam rangka menyiapkan sofifi sebagai ibukota provinsi, sekaligus untuk menyiapkan arah pengembangan bagi daerah induk (kota Tidore Kepulauan) dalam masa’jeda kontroversi ini, pihak-pihak yang berkepentingan perlu menghentikan pernyataan pro-kontra tentang pembentukan kota sofifi, sebaliknya mereka perlu bertemu dalam sebuah forum untuk membahas strategi mencapai kepentingan bersama. Mereka juga perlu membuat pernyataan yang tegas untuk menghentikan kontroversi disaat yang sama, pihak-pihak tersebut perlu membahas kembali grand design pengembangan kawasan sofifi dan kawasan oba pada umumnya. Dalam hal ini visi bersama perlu dicapai. Yang tak kalah pentingnya untuk dilakukan dalam tahap ini adalah perumusan kembali strategi komunikasi (baik internal maupun eksternal pemerintahan). Untuk mengkerangkai kembali wacana publik.
2.      Mengulang proses pembentukan sofifi sebagai DOB
Proses gagasan pembentkan kota sofifi perlu di ulangi dari awal agar lebih mentaati prosedur yang di tentukan oleh PP no. 78 tahun 2007 sebagimana dipaparkan diatas. Meskipun belum ditemui sejumlah tempat bahwa keinginan pembentukan DOB banyak muncul dari kalangan elit, namun upaya regulasi untuk menyertakan masyarakat secara lebih substantive dalam prose situ perlu dihormati dan di taati dengan sungguh-sungguh. Proses botton-up dalam rencana pembentukan kota sofifi perlu di tunjukan sesuai dengan prosedur yang telah di atur rinci dalam PP tersebut.

Proses ini perlu di barengi dengan penguatan komunikasi politik antara pihak-pihak yang berkepentingan dan terkait dalam rencana pembentukan kota sofifi ini. Komunikasi politik antara provinsi Maluku utara (Gubernur, DPRD) dengan Kota tidore kepulauan (walikota, DPRD) perlu di bangun dengan baik. Dan insentif dalam jalur informal, kedua pemerintah daerah juga perlu membagun komunikasi politik yang lebih baik dengan pihak kesultanan tidore, dengan tujuan yang sama yakni untuk membangun consensus politik yang kuat dan mengikat.













BAB IV
Kesimpulan dan rekomendasi

ACF (Advocacy Coalition framework) yaitu sekelompok pengambil kebijakan dalam subsistem kebijakan. Aktor dari advocacy coalition terdiri dari pelaku-pelaku dari sejumlah institusi swasta dan pemerintahdalam semua level organisasi pemerintah yang berhubungan atasdasar kepercayaan pada pencapaian tujuan. (Howlett dan Ramesh,1995 :125). ACF disajikan kadang-kadang sebagai pengganti PPA (proses analisis kebijakan ), AKP dapat menambah ACF ketika rincian tentang bagaimana koalisi berevolusi dan bagaimana mereka benar-benar menerjemahkan keyakinan mereka ke dalam perilaku pemerintah diperiksa.
Dengan pendekatan ACF, hasil analisisnya menunjukan bahwa ada pertarungan kepentingan yang di bawah dalam kontroversi pemekaran sofifi. konflik vertikal antara pemerintah kota tidore, walokota dalam koalisinya dengan sultan dan DPRD kota, dengan pemerintah provinsi, gubernur, dan DPRD provinsi serta AMOB menindikasi ada peluang yang ingin di dapat. bahwa dari gubernur itu sendiri ada kepentingan politik mengapa sehingga tanpa koordinasikan dengan pemerintah kota tidore, gubernur melanggar prosedur dalam pembentukan DOB, yakni melanggar asas otonomi daerah yang dimana inisiatif nya bukan dari rakyat tetapi dari gubernur dan secara detail gubernur yang mengururs tata kota sofifi, tanpa berkoordinasikan dengan pihak pemkot yang lebih mempunyai otoritas terhadap rakyat sofifi.
Hal halnya dengan pemkot tidore yang menyatakan akan setuju pemekaran sofifi bilamana sarana prasarannya sudah memadai, akan tetapi di balik itu semua, ada kekawatiran dari pihak kesultanan mengenai eksistensi kota tidore, harus ada barang yang di tukar untuk menggantikan hilangnya sofifi dan kecamatan oba, yakni peningkatan status tidore menjadi daerah otonomi khusus, tawar menawar yang cukup sulit untuk di wujudkan. Tapi itu lah yang terjadi di balik wacana pemekaran sofifi yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat dan nasib masyarakat sofifi kedepannya serta pengembangan ibukota sofifi yang lebih baik.


Rekomendasi
1.      Memberlakukan masa jeda kontroversi
2.      Mengulang proses pembentukan sofifi sebagai DOB
3.      penguatan komunikasi politik antara pihak-pihak yang berkepentingan dan terkait dalam rencana pembentukan kota sofifi





















Daftar Pustaka


[1] Malut Post, 28 Juni 2011

[3]Demonstrasi di lakukan dari bulan februari-mei 2011, aksi ini mencapai puncaknya pada bulan mei 2011 yang kecewa dengan hasil siding paripurna DPRD kota tidore kepulauan yang menolak usul pemekaran sofifi , tanggal 13 mei 2011  sehingga aksi anarkisme dengan melakukan pemboikotan sejumlah kantor pemerintahan, DPRD, Gubernur, kantor camat yang berada di kecamatan sofifi. Bahkan sejumlah pejabat DPRD dan  wakil walikota yang kunjungan kerja  sofifi  tidak di gubris dan segala transportasinya mogok untuk melayani pejabat-pejabat tersebut.
[5] Malut pos, 28 juni 2011 hal. 13
[6] Menurut sumber dari tokoh masyarakat oba utara Hi. Djafar
[7] Kajian studi UGM dalam Koran MALUT POST, 11 mei 2011